Mengirim Doa dan Semangat Baik untuk Para Penyintas Kekerasan Seksual

Hari ini, jagat dunia maya ramai dengan topik pelecehan seksual yang dilakukan Gofar Hilman, seorang influencer di media sosial. Lantas, malam ini aku ingin berbagi pikiran dan cerita saat membaca reaksi-reaksi yang muncul saat mengikuti kasus ini.

Pertama-tama, tentu aku mengutuk keras apa yang sudah dilakukan Gofur Hilman. Aku tidak mengenal siapa. Aku pun juga tidak mengenal para penyintas pelecehan seksual, tapi aku mengirim semangat dan doa baik untuk mereka yang telah berani berbicara.

Aku merasa heran tetapi tidak terkejut dengan pembelaan diri Gofur Hilman dalam utasnya. Utas itu memperlihatkan sesuatu yang sering sekali terjadi di antara para penyintas yang memberanikan diri untuk bicara: membuat kita meragukan realita yang dialami korban, yang berujung pada mansplaining yang melakukan victim blaming terhadap korban. "Dienakin nggak mau", "Pansos apa ya mbaknya", "Kejadiannya sudah lama, kenapa baru bicara sekarang?" Dan sekian banyak komentar lain saya temukan dalam balasan-balasan terhadap utas Gofur Hilman. Ironisnya, bahkan media tidak memberi ruang lebih bagi korban untuk berbicara. Justru, ruang itu lebih banyak disediakan bagi Gofur yang seorang figur publik. 

Dalam utas itu, Gofur menyampaikan bahwa ini hanya fitnah, dan akan membawa kasus ini ke meja hijau. Saat membaca utas itu, ada satu hal yang saya pahami, yaitu mengenai siapa yang memegang kuasa di dalam permainan catur itu. Membela diri di hadapan hukum tidak semudah "membela keadilan dan kebenaran". Tidak bisa dipungkiri, ada privelese yang dibutuhkan untuk kita bisa membela diri kita di hadapan hukum. Siapa yang memiliki modal kapital dan modal sosial yang lebih kuat? Siapa yang bisa menyewa pengacara untuk membelamu di persidangan? Siapa yang bisa meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk bertahan melewati proses yang panjang? Kemudian, bagaimana dengan payung hukum di negara kita yang belum cukup kuat untuk bisa melindungi para penyintas kekerasan seksual? Realitanya, lebih sering korban yang dipersalahkan. Mau mereka diam atau angkat suara, mau mereka membawa pengalaman mereka ke ranah hukum atau tidak.

Rasanya menjijikkan ketika memikirkan ada orang-orang yang menormalisasi kerusakan ini, terutama ketika mereka tidak saja mempertanyakan kesaksian korban, tetapi juga mempersalahkannya.

Saat membaca reaksi-reaksi warganet yang demikian, aku teringat tentang pelecehan seksual yang aku alami enam tahun yang lalu. Waktu itu, aku masih menjadi anggota aktif di komunitas teater kampus. Menjelang sebulan atau dua minggu sebelum Hari-H pementasan, para tim artistik, aktor, dan sutradara pulang larut malam, begitu juga denganku yang tergabung sebagai tim penata panggung. 

Aku mengayuh sepedaku malam itu di jalan yang cukup sepi, meski beberapa warung makan masih buka. Ketika mengayuh memasuki gang menuju kos, dari belakang ada suara motor lewat. Tentu saja aku menyingkir ke kiri memberi jalan supaya motor itu bisa mendahului.

Lalu, tiba-tiba motor itu berada sejajar dengan sepedaku, dan tangan kiri si pengendara motor yang memakai jaket dan helm hitam itu meremas buah dadaku. Aku otomatis mengerem sepedaku mendadak sambil mengumpat, dan pengendara motor itu menancapkan gas, dan menghilang di tikungan sebelum aku sempat mengejar atau melihat plat nomornya. 

Aku terdiam sebentar sebelum pelan-pelan melanjutkan mengayuh sepedaku lagi ke kos. Dalam perjalanan, aku berusaha mencerna apa yang terjadi, dan bingung ketika menyadari bahwa aku baru saja dilecehkan. Kukira selama ini kota tempatku menempuh studi itu cenderung aman? Aku bergidik dan cuma bisa bersyukur tidak ada kejadian yang lebih jauh di gang yang sepi itu.

Esok harinya aku bercerita kepada salah seorang temanku (perempuan) sebelum kuliah dimulai. Dia bertanya apakah aku sudah bercerita kepada X (pacarku saat itu). Dia menasihatiku, bahwa sebaiknya aku tidak perlu cerita hal seperti itu, karena itu kejadian yang memalukan, seperti aib. Bahwa sebaiknya lain kali aku tidak pulang larut malam supaya tidak diganggu lagi.

Lucu juga karena sampai hari ini aku masih mengingat dengan jelas pakaian yang aku kenakan dari atas sampai bawa. Batik hijau gelap tanpa lengan, outer cardigan abu-abu yang longgar dan jahitan di ujung lengannya sudah lepas, lalu flat shoes Crocs putih. Apakah aku memakai baju terbuka? Tidak juga.

Baru agak lama kemudian, ketika aku mulai lebih melek dengan isu-isu perempuan dan kekerasan seksual, aku menyadari bahwa apa yang aku alami sepenuhnya bukan salahku, tetapi si pelaku. Saat ini, aku sudah tidak takut lagi untuk pulang larut malam sendirian. Tetapi, ketika ada motor di belakangku, secara reflek aku akan menyingkir ke kiri sebelum menoleh ke belakang untuk memastikan.

Merefleksikan apa yang aku alami dengan kasus pelecehan seksual yang dilakukan Gofur, rasanya lucu bahwa sampai saat ini korban masih juga jadi pihak yang disalahkan. Bahwa stigma-stigma negatif sialan itu yang menahan korban untuk berbicara, bahkan sebagian ada yang menyebut korban "pansos" dan "dienakin nggak mau". Padahal, aku yakin itu menyisakan pengalaman yang buruk, bahkan bisa menyiasakan rasa trauma bagi korban. Bahkan ia butuh waktu untuk bisa angkat suara.

Hentikan victim blaming terhadap korban. 

Melalui tulisan ini, aku ingin memberi semangat dan doa baik bagi para penyintas kekerasan seksual di manapun, baik yang telah memberanikan diri untuk berbicara maupun yang belum. Aku berharap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bisa segera disahkan, agar para korban bisa mendapat perlindungan hukum yang lebih kuat. Agar para pelakunya mendapat jera.

Akhir catatan ini, aku ingin mengutip salah satu tulisan pendek Ariel Heryanto di Harian Kompas tahun 1997 silam. 

..."Terus terang kami masih tak paham. Kalau di planet kami ada bianatang yang buas dan berbahaya bagi umum, maka yang dikurung adalah binatang itu. Bukan korbannya."

Cheers.

Comments

Popular posts from this blog

"Pura-Pura Cinta": Remaja

Ebony: Gerakan Akar Rumput Dari, Oleh, dan Untuk Perempuan