"Apa yang Kita Rayakan?"

Kemarin siang, dari gedung SMA yang tidak jauh dari kos-kosan saya terdengar lagu-lagu yang langganan pasti diperdengarkan setiap tahun menjelang kemerdekaan. "Kebyar-Kebyar", "Bendera", "Indonesia Raya".. Rumah-rumah juga tak lupa dipasangi bendera merah putih di gerbang depan. Lalu, hari ini beberapa teman mengganti profile picture mereka dengan frame template kemerdekaan. Banyak yang mengunggah foto-foto kenangan atau foto-foto terbaru mereka merayakan kemerdekaan hari ini. Tentu saja, dua tahun pandemi tidak memungkinkan kita untuk mengadakan lomba-lomba 17 Agustus.

Tetapi, di tengah semangat dan perayaan-perayaan itu, selama dua hari terakhir saya merasa kosong.

Rasanya seperti sebuah ironi merayakan kemerdekaan dengan jargon "Indonesia Tumbuh Indonesia Maju" ketika saya melihat kasus rasialisme di Papua yang dilakukan oleh orang-orang yang memegang kekuasaan, ketika para pencuri elit meminta keringanan bahkan memohon dibebaskan dari segala tuduhan (dan diskon-diskon hukuman itu dikabulkan), ketika tanah adat dibabat dan masyarakat adat digusur demi "investasi", ketika kritik dan kegelisahan sosial yang disuarakan di ruang publik dibungkam, dan segala hal lain yang belum disebutkan.

Itu adalah hal yang terjadi beberapa bulan terakhir, dan di tengah-tengah itu semua, saya bertanya: apa yang tumbuh dan maju?

Beberapa tahun lalu, saya diperdengarkan sebuah lagu dari Ilalang Zaman, "Apa yang Kita Rayakan?" Sepenggal liriknya berbunyi seperti ini:

Merah Putih berjaya di tengah raya
Masih kita berpesta di tengah pemakaman
Pemakaman tuan keadilan dan nyonya kemanusiaan
juga bibi nurani dan paman keberanian
Terkubur bersama adik sejarah dan kakak kesadaran.
Apa yang kita rayakan?

Rasa-rasanya, hari ini lagu ini terdengar terus di kepala saya. Saya terus bertanya-tanya, "Apa sih yang kita rayakan?" Ketika untuk menyuarakan segala ketimpangan sosial yang ada saja, saya tidak diperbolehkan jika tidak digolongkan sebagai kelompok pendukung A atau B? Ketika untuk menyuarakan ketidakadilan, saya harus berpikir dua kali jika tidak ingin meyinggung pihak-pihak tertentu? Apa yang tumbuh? Apa yang maju? Apakah kita sudah benar-benar merdeka? Ataukah kita masih juga seperti ikan yang berenang di dalam akuarium/kolam cantik?

Hari ini saya tidak ingin "merayakan", karena apa yang harus saya rayakan?

Hari ini saya ingin bersuara tentang kegelisahan hati. Lalu, esok hari melanjutkan hidup sembari tidak lupa pada apa yang terjadi hari-hari ini, sembari dengan cara sendiri-sendiri dan bersama-sama mencoba dan berharap bisa memperbaiki sistem yang rusak ini.

Semoga.

Comments

Popular posts from this blog

"Pura-Pura Cinta": Remaja

Ebony: Gerakan Akar Rumput Dari, Oleh, dan Untuk Perempuan

Mengirim Doa dan Semangat Baik untuk Para Penyintas Kekerasan Seksual