Mengunjungi Kembali "Ruroni Kenshin" Melalui "Ruroni Kenshin: Origins"

Di antara banyak serial manga yang menemaniku waktu kecil, serial Samurai X karya Nobuhiro Watsuki adalah salah satu serial manga yang tidak bosan-bosan aku baca berulang kali. Referensi-referensi sejarah yang dicampurkan dengan fiksi membuat aku betah. Setelah beberapa tahun tidak membaca manga ini, aku iseng untuk mengunjunginya kembali, kali ini melalui adaptasi live action-nya. Tentu saja, ini dengan pertimbangan bahwa adaptasi film serialnya telah memuat arc-arc penting: Ruroni Kenshin Origins, Kyoto Inferno, The Legend Ends, The Final, dan The Beginning

Ini adalah kali pertama aku menonton film-film live action Ruroni Kenshin. Biasanya aku lebih senang membaca manga dan kadang-kadang menonton adaptasi animenya. Kali ini, yang pertama kali kutonton adalah Ruroni Kenshin: Origins yang dirilis oleh Warner Bross pada tahun 2012. 

Aku sempat bernostalgia ketika film memasuki adegan yang dibuka dengan Kenshin menaiki perahu sembari mendekap pedangnya. Adegan opening dan lagu Sobakasu yang dinyanyikan Freckles sempat terlintas dalam pikiran.

Seperti di manga, cerita diawali dengan gosip seseorang yang mengaku sebagai Battosai si Pembantai yang membunuhi orang-orang, termasuk petugas polisi. Battosai ini mencatut dirinya sebagai bagian dari Kamiyakasshin, dan Kaoru Kamiya, selaku pemilik dojo, berniat mencari si Battosai untuk membersihkan nama baik dojonya. Inilah yang mempertemukan Kaoru dengan Kenshin.

Battosai si Pembantai adalah Jine Udo, yang disewa oleh Kanryu Takeda untuk membunuh musuh-musuhnya. Selain Jine, orang yang disewa oleh Kanryu sebagai bodyguard-nya adalah Gein dan Inui Banjin. Sebagaimana di manga, Kanryu adalah seorang pedagang opium. Ia memanfaatkan dan menekan Megumi Takani, seorang dokter dari keluarga Takani untuk membuat opium. Kanryu telah dicurigai oleh kepolisian, tetapi tidak ditemukan bukti kuat untuk menangkapnya. Penyidik utama yang dipilih untuk menangani kasus ini adalah Hajime Saito, mantan anggota Shinsengumi yang dibubarkan ketika pemerintahan Bakufu berakhir.

Di tengah-tengah kericuhan kasus opium dan pembunuhan anggota polisi, Kenshin yang dalam perjalanannya sebagai seorang pengembara bertemu dengan Kaoru dan Yahiko, serta Sanosuke Sagara yang dengan segera menjadi ally Kenshin saat ia harus bertarung.

Sebagai sebuah film live action, salah satu hal yang kusukai dari film ini adalah detail-detail realistik yang ditampilkan di dalamnya. Salah satu adegan yang membuatku merasa sedikit overwhelmed adalah ketika Megumi membuat opium untuk diberikan kepada para pecandu opium. Aku tidak pernah tahu efek seperti apa yang timbul dalam tubuh pecandu opium, dan di manga pun tidak begitu diceritakan kecuali bahwa salah seorang teman Sanosuke mati karena opium. Di dalam film, kengerian efek yang ditimbulkan opium dibuat realistik. Megumi yang terpaksa menyaksikan kengerian para pecandu yang tubuh dan jiwanya rusak karena opium menciptakan atmosfer mencekam yang lebih real.

Saat memutuskan menonton film ini, sejujurnya aku sedikit penasaran bagaimana jurus Hitenmitsurugi akan diadaptasi di dalam film ini. Sekali-dua kali, aku menangkap jurus Ryukansen digunakan Kenshin, terutama saat ia menghadapi banyak musuh. Meski aku tidak begitu banyak menangkap teknik-teknik khusus Hitenmitsurugi di dalam Ruroni Kenshin: Origins, aku tidak merasa begitu kecewa melihat adegan-adegan action-pertarungan pedang Kenshin yang diperankan Takeru Sato. Ciri khas jurus Hitenmitsurugi yang cepat, kuat, dan mematikan (jika Kenshin tidak memakai sakabato) setidaknya tersampaikan di dalam film. 

Sebagai sebuah film adaptasi manga, kesanku saat menonton film ini adalah usaha sutradara/tim produksi untuk tetap mengikuti plot utama manga dengan cara "merangkum" plot serta para tokohnya untuk film berdurasi dua jam. Jine Udo yang dipilih sebagai Battosai si Pembantai palsu alih-alih Gohei Hiruma, Yahiko Myojin yang diceritakan sudah menjadi murid Kaoru sebelum Kenshin muncul, pertemuan Kenshin dengan Hajime Saito, serta arc melawan Kanryu yang bersusul-susulan dengan arc melawan Jine Udo.

Tentu saja, film adalah film dan manga adalah manga. Perbedaan-perbedaan yang muncul di dalam adalah hal yang wajar. Akan tetapi, bagaimanapun film ini tetap merupakan adaptasi dari manga. Mempertimbangkan plot dan latar belakang para tokoh yang telah dibangun dengan begitu rapi di dalam manga, mau tidak mau ada beberapa hal dari perbedaan film ini dengan manga-nya yang cukup mengusikku. Ada beberapa hal yang absen muncul di dalam film dan terasa memiskinkan karakter serta membuat plot hole di dalam film.

Salah satu yang pertama kusadari adalah karakter Sanosuke Sagara di film yang memperkenalkan dirinya sebagai seorang street fighter. Ia baru saja keluar dari penjara dan hendak bekerja untuk Kanryu. Untuk membuktikan kekuatannya, ia mengajak Kenshin berduel.

Sebagaimana diceritakan di dalam manga, Sanosuke adalah mantan anggota Sekihotai, kelompok sipil bersenjata dan intel yang bersama kelompok Restorasi Meiji melawan pemerintahan Bakufu tetapi dituduh sebagai pengkhianat dan para anggotanya dihukum mati. Hal ini memicu kebencian Sanosuke terhadap para ksatria Restorasi Meiji, lebih-lebih mereka yang menjadi pejabat korup. Hal ini juga yang mendorong Sanosuke mengenakan pakaian dengan tulisan "Aku" (Jahat/Buruk) di punggungnya. Begitu mengetahui Kenshin adalah Battosai si Pembantai yang ikut sebagai ksatria Restorasi Meiji, ia menantangnya berduel untuk membuktikan martabat Sekihotai. Meski akhirnya ia menjadi salah satu sahabat dekat Kenshin, ketidaksukaan Sanosuke terhadap pejabat-pejabat Meiji ini masih tetap dipegang sampai akhir cerita.

Latar belakang Sanosuke ini dinyatakan pada perkenalan awalnya di manga, menjadi motifnya untuk menantang Kenshin berduel, dan memberi gambaran pada sikap politis yang ia ambil terhadap rezim yang berlaku, bahkan terhadap cara pandang hidup serta sikap-sikap yang ia ambil di dalam arc-arc ke depannya. Aku menyayangkan absennya kompleksitas karakter Sanosuke ini di dalam film. Rasanya, tidak memperkenalkan Sanosuke sebagai mantan anggota Sekihotai di dalam film membuatnya tidak diberi motif yang cukup untuk mengajak Kenshin berduel, bahkan memiskinkan karakter Sanosuke sebagai seorang street fighter belaka.

Kejanggalan lain juga kurasakan terhadap kemunculan Jine sebagai Battosai si Pembantai yang palsu. Kejanggalan itu adalah motifnya mengaku sebagai anggota Kamiyakasshin. Di manga, Gohei dan kakaknya Kihei hendak merebut otoritas/kepemilikan atas dojo Kamiya. Untuk itu, Gohei kemudian menyamar sebagai Battosai si Pembantai dan menyebarkan rumor buruk tentangnya. Tetapi, berkebalikan dari Gohei, tidak ada motif bagi Jine untuk mengaku sebagai anggota dojo Kamiya. Malah, ia sebetulnya tidak benar-benar memiliki kepentingan dengan dojo tersebut, kecuali ketika ia menculik Kaoru untuk memanas-manasi Kenshin.

Salah satu hal lain yang membuatku merasa janggal saat menonton film ini adalah dipilihnya Gein dan Inui sebagai pengawal Kanryu alih-alih para anggota Oniwabanshu. Film ini adalah film pertama dari lima film serial Ruroni Kenshin, dan dua film terakhirnya akan menyinggung Enishi Yukishiro yang datang untuk membalas dendam pada Kenshin. Di dalam manga, Gein dan Inui adalah salah satu anggota kelompok yang dipimpin Enishi dalam melaksanakan pembalasan dendam itu. Bahkan, Gein adalah ahli boneka yang akan mensubstitusi tubuh Kaoru dengan boneka mayat (Aku agak menyayangkan ciri khas cara bertarung Gein ini tidak dimunculkan di dalam film). Peran Gein menjadi salah satu plot penting yang menceritakan kejatuhan Kenshin. Lantas bagaimana plot kematian Kaoru akan berjalan di dalam arc-arc di depan?

Absennya Oniwabanshu menjadi salah satu hal yang juga cukup kusayangkan. Hal ini mempertimbangkan bahwa di dalam manga, kematian para anggota Oniwabanshu di kediaman Kanryu akan menjadi kunci plot penting di dalam arc di Kyoto. Di dalam arc inilah Aoshi, pemimpin Oniwabanshu yang akan berperan besar di dalam arc-arc selanjutnya, akan mengalami titik balik character development yang cukup ekstrim. Secara khusus di arc Kyoto, pertemuan Kenshin dengan Oniwabanshu dan Aoshi akan menjadi cukup penting saat melawan Shishio.

Rasanya, kejanggalan-kejanggalan ini tidak akan begitu kuperhitungkan apabila film ini adalah film yang berdiri sendiri, tanpa produksi prekuel maupun sekuel-sekuelnya. Akan tetapi, ia justru menjadi awal dari serangkaian film serial yang memiliki kelanjutan. Aku merasa bahwa plothole yang muncul seperti absennya motif Jine Udo dan kemunculan Gein dan Inui sebagai ganti Oniwabanshu tidak akan benar-benar terjelaskan di dalam film-film selanjutnya. 

Aku memahami tim produksi film yang hendak menekan kisah panjang perjalanan Kenshin di dalam satu film, tetapi sebagai gantinya ia meninggalkan banyak pertannyaan dan kejanggalan, juga rasa terburu-burunya plot yang dibangun. Aku merasa film ini akan lebih mudah dinikmati jika dibuat menjadi dua bagian. Setidaknya, akan ada ruang lebih luas bagi perkenalan tokoh Sanosuke dan membangun hubungan Kenshin dengan para tokoh lain yang muncul di dalam film.

Meski demikian, dengan mempertimbangkan kejanggalan-kejanggalan yang aku temukan tersebut, aku cukup menikmati film ini. Aku sangat menikmati setting tempat yang ditampilkan di dalam film: rumah dan kantor Kanryu, rumah makan Akabeko, jalan-jalan di Edo (Tokyo) masa lampau, dan seterusnya. Aku juga bertanya-tanya plot seperti apa yang akan ditawarkan di dalam prekuel dan sekuel film ini, serta menantikan untuk menonton film-film serial Ruroni Kenshin selanjutnya. 

Comments

Popular posts from this blog

"Pura-Pura Cinta": Remaja

Ebony: Gerakan Akar Rumput Dari, Oleh, dan Untuk Perempuan

Mengirim Doa dan Semangat Baik untuk Para Penyintas Kekerasan Seksual